Praktisi Hukum Kritik KPK Soal Penangkapan Gubernur Sulsel Bukan OTT
BernasJakarta (JAKARTA) – Penangkapan dan penahanan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah atas dugaan korupsi gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Sabtu (27/2/2021), kabar yang masif di media massa tersebut tampak mengudang perhatian sangat serius di kalangan praktisi hukum.
Gubernur Sulawesi Selatan ini, secara mendadak dikabarkan oleh Ketua KPK Firli Bahuri bahwa ia telah terjaring operasi tangkap tangan (OTT). Tindakan penyidik KPK itu awal mulanya memperoleh informasi dari masyarakat terkait adanya dugaan terjadinya penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggata negara pada Jumat, (26/2/2021) malam.
Perhatian serius kepada tindakan penegak hukum KPK dalam kasus Gebernur Sulawesi Selatan datang dari praktisi hukum lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu Rahmat Abdullah SH. Ia mengatakan, penangkapan Nurdin Abdullah sama sekali tidak sesuai prosedur, dan bukan bagian dari operasi tangkap tangan (OTT) pada Jum’at, (14/3/2021) siang.
“Kalau memang KPK melakukan OTT kepada pak Gubernur harusnya pada saat ia melakukan tindak pidana atau transaksi. Tindakan penyidik KPK yang menangkap, dan menahan pak Nurdin Abdullah sungguh di luar konteks OTT serta tidak mengikuti hukum yang berlaku,” ujar Founder Kantor Hukum Rafa & Partners di kantornya, Jakarta Selatan.
Menurut Rahmat, selain kabar OTT yang tidak sesuai aturan hukum formil. Penangkapan, dan penahanan Nurdin Abdullah juga bertentangan hukum acara pidana, khususnya yang berkaitan dengan pasal 18 ayat (2) kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP).
“Pasal 18 ayat (2) KUHAP itu terkait kelengkapan penegak hukum seperti penyidik KPK yang sedang bertugas wajib memberitahukan kepada keluarga terlapor. Terutama kelengkapan administratif. Misalnya, Surat Tuga, dan Surat Perintah,” ungkapnya.
Ia menilai bahwa penangkapan, dan penahanan Gubernur Sulsel sah-sah saja dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Namun, KPK tidak boleh mengabaikan peraturan lainnya. Terutama ketaatannya kepada asas hukum, dan putusan MK Nomor 130/PUU-XII/2015 yang menjelaskan tentang surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP).
“Putusan tersebut setidaknya menjadi dasar hukum bagi KPK sebelum mentapkan seseorang sebagai tersangka. Apalagi sampai menangkap, dan menahan. Padahal, status saksi belum pernah disematkan kepada pak Gubernur,” tambahnya.
Rahmat sebagai praktisi hukum berharap kepada KPK agar ke depannya hati-hati dalam menggelar OTT, dan tidak sembarangan main tangkap, dan tahan seseorang sebelum menjadi saksi atau pun tersangka. Karena itu, dapat merusak sistem penegakan hukum di lapangan.
Terakhir, tindakan OTT kepada pak Nurdin Abdullah tidak mengandung kepastian hukum. Oleh sebab itu, KPK harus membuktikan secara valid, dan mengikuti proses hukum acara yang berlaku. Paling tidak, KPK harus mampu membuktikan sebelum menangkap Gubernur Sulsel.